07 December 2010

MUHASABAH MAAL HIJRAH 1432 H


Di awal tahun baru hijrah,
Ku sujud menghambakan diri pada-Mu,
Hati terus merintih mengenangkan dosa lalu,
Kotornya diri dengan maksiat dan noda,
Lemahnya jiwa berdepan dengan dunia,
Lalainya diri dari mengingati-Nya,
 
Astaghfirullahal 'adzim....
Banyaknya kekurangan diri,
Ampuni hamba-Mu ini Ya Allah.

Aku sedar,
Jiwa yang tandus taqwa,
Terdorong lakukan apa sahaja,
Sanggup menentang arus kehendak Ilahi,
Yang difikir hanyalah untuk kepuasan diri,
 
Maka, pabila dosa telah larut,
Gelaplah hati, kotorlah jiwa, murunglah diri,
Itulah fitrah sang pendosa,
Yang leka dari pencipta-Nya.

Namun, bila iman hadir di jiwa,
Mata hati mula bekerja,
Baru kusedar, betapa diri jauh dari-Mu Tuhan,
Asyik sibuk untuk dunia,
 
Hinggakan solat sering kutunda,
Al-Quran pun malas dibaca,
Lidahku kotor dengan kata-kata dusta,
Mata ini tak kujaga dari perkara dosa,
 
Telinga ini mendengar apa yang tak sepatutnya,
Kaki ini sering melangkah ke tempat lagha.

Ya Allah,
Jauh sekali diriku dengan peribadi kekasih-Mu,
Kau teladan terbaik bagi seluruh umat,
Ingin sekali aku mencontohi peribadimu, Rasulullah
Meskipun dirimu suci tanpa dosa,
Solat malam tidak pernah kau lupa,
Munajatmu di tengah malam jadi rutin harian,
Pengharapanmu pada Tuhan terlalu tinggi,
 
Sedang aku???
Seorang hamba yang penuh dosa....
Solat fardhu pun kurang dijaga,
Apatah lagi solat malam sepertimu, Ya Nabiyullah.

Sungguh,
Aku ingin berubah,
Menjadi seorang hamba-Mu yang taat,
Aku takut akan azab kubur,
Aku gerun dengan dahsyatnya neraka-Mu,
Dan kurindukan nikmat syurga.

Jadi,
Kupohon padaMu wahai Tuhan,
Campakkan ke dalam hati ini niat yang tulus,
Ingin sekali aku berdiri di hadapan-Mu dengan jiwa yang tunduk,
Ingin sekali aku rukuk pada-Mu dengan hati yang pasrah,
Dan ingin sekali ku sujud ke hadhrat-Mu dengan punuh kehambaan,

Ya Rahim,
Sucikan hatiku dari sifat munafik,
Sucikan amalku daripada riyak,
Sucikan lidahku daripada dusta dan mataku dari khianat,
Jadikanlah diriku seorang anak yang solehah,
Yang bisa mendamaikan hati Ummi dan Abiku,
Jadikanlah diriku seorang mukminat solehah,
Kerna mukminat solehah itu lebih cantik dari bidadari syurga.

Dan...
Kurniakan aku kesabaran untuk menunaikan ketaatan pada-Mu,
Anugerahkan aku kesabaran dalam meninggalkan maksiat pada-Mu,
Jadikanlah hati ini hati yang sentiasa mengingati-Mu,
Agar dapat ku miliki sekeping hati yang tenang,
Jauh dari hasad dengki dan kepalsuan dunia,
Hadirkanlah cintaku kepada-Mu mengatasi segalanya,
Agar Kau temukan hati yang terbaik buat diriku.
Moga dapat kukecapi, kebahagiaan yang hakiki,
Suatu hari nanti...
 
Amin....

05 November 2010

KERANA DIA MANUSIA BIASA

  

Diambil dari email yang telah dihantarkan kepada saya

Assalamualaikum. Semoga bermanfaat, baik utk yang melamar ataupun yg dilamar, ataupun bagi yang sudah berumah tangga. Renungan buat yang sedang mencari pasangan hidup ataupun yang sedang mengemudi bahtera rumah tangga. Mengapa?

Kerana Dia Manusia Biasa

Setiap kali ada sahabat yang ingin menikah, saya selalu mengajukan pertanyaan yang sama. Kenapa kamu memilih dia sebagai suami/isterimu? Jawabannya ada bermacam-macam. Bermula dengan jawaban kerana Allah hinggalah jawaban duniawi.

Tapi ada satu jawaban yang sangat menyentuh di hati saya. Hingga saat ini saya masih ingat setiap detail percakapannya. Jawapan dari salah seorang teman yang baru saja menikah. Proses menuju pernikahannya sungguh ajaib. Mereka hanya berkenalan 2 bulan. Kemudian membuat keputusan menikah. Persiapan pernikahan mereka hanya dilakukan dalam waktu sebulan saja. Kalau dia seorang akhwat, saya tidak hairan. Proses pernikahan seperti ini selalu dilakukan. Dia bukanlah akhwat, sebagaimana saya. Satu hal yang pasti, dia jenis wanita yang sangat berhati-hati dalam memilih suami.

Trauma dikhianati lelaki membuat dirinya sukar untuk membuka hati. Ketika dia memberitahu akan menikah, saya tidak menganggapnya serius. Mereka berdua baru kenal sebulan. Tapi saya berdoa, semoga ucapannya menjadi kenyataan. Saya tidak ingin melihatnya menangis lagi.

Sebulan kemudian dia menemui saya. Dia menyebutkan tarikh pernikahannya. Serta meminta saya untuk memohon cuti, agar dapat menemaninya semasa majlis pernikahan. Begitu banyak pertanyaan dikepala saya. Sebenarnya…!!!

Saya ingin tau, kenapa dia begitu mudah menerima lelaki itu. Ada apakah gerangan? Tentu suatu hal yang istimewa. Hingga dia boleh memutuskan untuk bernikah secepat ini. Tapi sayang, saya sedang sibuk ketika itu (benar-benar sibuk).

Saya tidak dapat membantunya mempersiapkan keperluan pernikahan. Beberapa kali dia menelefon saya untuk meminta pendapat tentang beberapa perkara.. Beberapa kali saya telefon dia untuk menanyakan perkembangan persiapan pernikahannya. That’s all…Kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Saya menggambil cuti 2 hari sebelum pernikahannya. Selama cuti itu saya memutuskan untuk menginap dirumahnya.

Pukul 11 malam sehari sebelum pernikahannya, baru kami dapat berbual -hanya- berdua. Hiruk pikuk persiapan akad nikah besok pagi, sungguh membelenggu kami. Pada awalnya kami ingin berbual tentang banyak hal.

Akhirnya, dapat juga kami berbual berdua. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Dia juga ingin bercerita banyak perkara kepada saya. Beberapa kali Mamanya mengetok pintu, meminta kami tidur.

“Aku tak boleh tidur.” Dia memandang saya dengan wajah bersahaja. Saya faham keadaanya ketika ini.

“Matikan saja lampunya, biar disangka kita dah tidur.”

“Ya.. ya.” Dia mematikan lampu neon bilik dan menggantinya dengan lampu yang samar. Kami meneruskan perbualan secara berbisik-bisik.

Suatu hal yang sudah lama sekali tidak kami lakukan. Kami berbual banyak perkara, tentang masa lalu dan impian-impian kami. Wajah keriangannya nampak jelas dalam kesamaran. Memunculkan aura cinta yang menerangi bilik ketika itu. Hingga akhirnya terlontar juga sebuah pertanyaan yang selama ini saya pendamkan.

“Kenapa kamu memilih dia?” Dia tersenyum simpul lalu bangkit dari baringnya sambil meraih HP dibawah bantalku. Perlahan dia membuka laci meja hiasnya. Dengan bantuan lampu LCD HP dia mengais lembaran kertas didalamnya.

Perlahan dia menutup laci kembali lalu menyerahkan sekeping envelop kepada saya. Saya menerima HP dari tangannya. Envelop putih panjang dengan cop surat syarikat tempat calon suaminya bekerja. Apa ni. Saya melihatnya tanpa mengerti. Eeh…, dia malah ketawa geli hati.

“Buka aja.” Sebuah kertas saya tarik keluar. Kertas putih bersaiz A4, saya melihat warnanya putih. Hehehehehehe.

 “Teruknya dia ni.” Saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan senyum. Sementara dia cuma ketawa melihat ekspresi saya.. Saya mula membacanya.Saya membaca satu kalimat diatas, dibarisan paling atas. Dan sampai saat inipun saya masih hafal dengan kata-katanya. Begini isi surat itu…

Kepada Yth …
Calon isteri saya, calon ibu anak-anak saya, calon menantu Ibu saya dan calon kakak buat adik-adik saya

Assalamu’alaikum Wr Wb

 Mohon maaf kalau anda tidak berkenan. Tapi saya mohon bacalah surat ini hingga akhir. Baru kemudian silakan dibuang atau dibakar, tapi saya mohon, bacalah dulu sampai selesai.

 Saya, yang bernama …………… menginginkan anda …………. untuk menjadi isteri saya. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia biasa. Buat masa ini saya mempunyai pekerjaan.

Tetapi saya tidak tahu apakah kemudiannya saya akan tetap bekerja. Tapi yang pasti saya akan berusaha mendapatkan rezeki untuk mencukupi keperluan isteri dan anak-anakku kelak.

Saya memang masih menyewa rumah. Dan saya tidak tahu apakah kemudiannya akan terus menyewa selamannya. Yang pasti, saya akan tetap berusaha agar isteri dan anak-anak saya tidak kepanasan dan tidak kehujanan.

Saya hanyalah manusia biasa, yang punya banyak kelemahan dan beberapa kelebihan. Saya menginginkan anda untuk mendampingi saya. Untuk menutupi kelemahan saya dan mengendalikan kelebihan saya. Saya hanya manusia biasa.. Cinta saya juga biasa saja.

Oleh kerana itu. Saya menginginkan anda supaya membantu saya memupuk dan merawat cinta ini, agar menjadi luar biasa.

Saya tidak tahu apakah kita nanti dapat bersama-sama sampai mati. Kerana saya tidak tahu suratan jodoh saya. Yang pasti saya akan berusaha sekuat tenaga menjadi suami dan ayah yang baik.

Kenapa saya memilih anda? Sampai saat ini saya tidak tahu kenapa saya memilih anda. Saya sudah sholat istiqarah berkali-kali, dan saya semakin mantap memilih anda…

Yang saya tahu, Saya memilih anda kerana Allah. Dan yang pasti, saya menikah untuk menyempurnakan agama saya, juga sunnah Rasulullah.. Saya tidak berani menjanjikan apa-apa, saya hanya berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari sekarang ini.

Saya memohon anda sholat istiqarah dulu sebelum memberi jawaban pada saya. Saya beri masa minima 1 minggu, maksima 1 bulan. Semoga Allah redha dengan jalan yang kita tempuh ini. Amin

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Saya memandang surat itu lama. Berkali-kali saya membacanya. Baru kali ini saya membaca surat ‘lamaran’ yang begitu indah. Sederhana, jujur dan realistik. Tanpa janji-janji yang melambung dan kata yang berbunga-bunga. Surat cinta biasa.

Saya menatap sahabat disamping saya. Dia menatap saya dengan senyum tertahan.

“Kenapa kamu memilih dia…….?”

“Kerana dia manusia biasa……. ” Dia menjawab mantap. “Dia sedar bahawa dia manusia biasa. Dia masih punya Allah yang mengatur hidupnya.

Yang aku tahu dia akan selalu berusaha tapi dia tidak menjanjikan apa-apa. Soalnya dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada kami kemudian hari. Entah kenapa, justru itu memberikan kesenangan tersendiri buat aku.”

“Maksudnya?”

“Dunia ini fana. Apa yang kita punya hari ini belum tentu besok masih ada. betuI tak? Paling tidak….. Aku tau bahawa dia tidak akan frust kalau suatu masa nanti kami jadi miskin.

“Ssttt…… ..” Saya menutup mulutnya. Khuatir kalu ada yang tau kami belum tidur. Terdiam kami memasang telinga.

Sunyi. Suara jengkering terdengar nyaring diluar tembok. Kami saling berpandangan lalu gelak sambil menutup mulut masing-masing.

“Udah tidur. Besok kamu mengantuk, aku pula yang dimarahi Mama.” Kami kembali berbaring. Tapi mata ini tidak boleh pejam. Percakapan kami tadi masih terngiang terus ditelinga saya.

“Gik…..?”

“Tidur…… Dah malam.” Saya menjawab tanpa menoleh padanya. Saya ingin dia tidur, agar dia kelihatan cantik besok pagi. Rasa mengantuk saya telah hilang, rasanya tidak akan tidur semalaman ini.

Satu lagi pelajaran dari pernikahan saya peroleh hari itu. Ketika manusia sedar dengan kemanusiannya. Sedar bahawa ada hal lain yang mengatur segala kehidupannya. Begitu juga dengan sebuah pernikahan. Suratan jodoh sudah terpahat sejak ruh ditiupkan dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana dan berapa lama pernikahannya kelak.

Lalu menjadikan proses menuju pernikahan bukanlah sebagai beban tetapi sebuah ‘proses usaha’. Betapa indah bila proses menuju pernikahan mengabaikan harta, tahta dan ‘nama’.

Status diri yang selama ini melekat dan dibanggakan (aku anak orang ini/itu), ditanggalkan.

Ketika segala yang ‘melekat’ pada diri bukanlah dijadikan pertimbangan yang utama. Pernikahan hanya dilandasi kerana Allah semata. Diniatkan untuk ibadah. Menyerahkan segalanya pada Allah yang membuat senarionya.

Maka semua menjadi indah.

Hanya Allah yang mampu menggerakkan hati setiap HambaNYA. Hanya Allah yang mampu memudahkan segala urusan. Hanya Allah yang mampu menyegerakan sebuah pernikahan. Kita hanya boleh memohon keridhoan Allah. MemintaNYA mengurniakan barokah dalam sebuah pernikahan. Hanya Allah jua yang akan menjaga ketenangan dan kemantapan untuk menikah..

Jadi, bagaimana dengan cinta?

Ibu saya pernah berkata, Cinta itu proses. Proses dari ada, menjadi hadir, lalu tumbuh, kemudian merawatnya.

Agar cinta itu dapat bersemi dengan indah menaungi dua insan dalam pernikahan yang suci. Cinta tumbuh kerana suami/isteri (belahan jiwa). Cinta paling halal dan suci. Cinta dua manusia biasa, yang berusaha menggabungkannya agar menjadi cinta yang luar biasa. Amin. 

Wallahu ‘alam

27 October 2010

peringatan buat muslimah

p/s: fwd from tmn2 syurga...........bgus tuk peringatan kita....kaum hawa....sila ambil perhatian.....share la dgn yg lain..mayb ada yg pernah bc...tp bc skali lg tuk peringatan kita....





Malam pasangannya siang,
Jaga pasangannya tidur,
Rajin pasangannya malas,
Dan lelaki pasangannya perempuan.

Kerana perempuan adalah
pasangan kepada lelaki,
maka Allah telah menciptakan bentuk badan wanita
itu dapat memikat hati lelaki.

Bila berkata tentang terpikat,
maka ia ada hubung kait dengan nafsu.
Jika ia ada hubungkait dengan nafsu,
ianya ada hubungan pula dengan bisikan syaitan.

Jadi untuk mengawal nafsu, mestilah dikawal dengan iman.
Untuk mendapatkan iman mesti menurut perintah
Allah dan RasulNya dan menjauhi laranganNya.

Pada mata lelaki, perempuan ini adalah simbol.
Simbol apa, semua orang tahu.
Orang lelaki mempunyai imaginasi yang nakal jika
tidak dikawal dengan iman.
Maka mata lelaki ini selalu menjalar
apabila terlihat seorang perempuan.

Setiap bentuk badan seorang
perempuan boleh dihayati oleh seorang lelaki
dengan berbagai-bagai tafsiran nakal nafsu.
Apabila seorang lelaki terlihat seorang
perempuan, maka perkara pertama yang akan
dilihatnya ialah rambut wanita berkenaan.
Maka akan ditafsirlah berbagai2 cara oleh
seorang lelaki akan rambut wanita berkenaan.

Oleh kerana itulah wanita wajib menutup rambutnya.
Apabila rambut wanita itu telah ditutup, maka
mata lelaki itu akan turun ke bawah melihat
bentuk lehernya,
maka wajiblah wanita itu menutup lehernya.
Maka mata lelaki itu akan turun lagi
melihat bentuk payu daranya,
maka wanita itu berkewajipanlah menutup bentuk
payu daranya dengan melabuhkan tudungnya.

Setelah itu mata lelaki akan
turun lagi melihat
bentuk ramping pinggangnya,
maka labuhkanlah pakaian supaya tidak ternampak
bentuk pinggangnya,
maka mata lelaki itu akan melihat pula akan
bentuk punggungnya,
maka wajiblah wanita itu membesarkan pakaiannya
agar bentuk punggung tidak kelihatan, dan
lelaki itu akan pula melihat bentuk pehanya,
maka janganlah sesekali wanita itu memakai kain
yang agak ketat sehingga terlihat bentuk
pehanya walau sedikit,
maka akan dilihat lagi oleh lelaki itu akan
bentuk kakinya pula,
maka janganlah wanita itu berseluar, kerana
terus-terang pihak lelaki bercakap, walau
muslimah itu bertudung labuh, berbaju labuh,
jika beliau memakai seluar,walau nampak besar
sedikit, nafsu kami lelaki akan terusik secara
sepontan, entah tak tahu Kenapa?

Mata lelaki ini nakal, setelah tidak ternampak
akan bentuk kakinya,
maka akan dilihatlah pula akan mata lelaki itu kepada kakinya,
maka wajiblah wanita itu untuk menolong lelaki
itu tidak berdosa, menutup kakinya dengan
melabuhkan kain, atau memakai stokinyg warnanya
jangan sesekali berwarna kulit perempuan,
maka mata lelaki ini akan kembali ke atas,
akan melihat pula bentuk tangan wanita itu,
maka tolonglah wahai muslimah, agar melabuhkan
tudung menutupi bentuk tangannya yang indah pada pandangan lelaki.

Maka wahai lelaki,
janganlah pula kamu melihat mukanya,
kerana ia akan menimbulkan fitnah, kecuali jika
kamu wahai lelaki, ingin meminangnya.
Jika wanita itu cukup soleh, takut mukanya yang
cantik akan menimbulkan fitnah,
maka berpurdahlah kamu,
jika itu lebih baik untuk kamu.

Tetapi mata lelaki ini ada satu lagi jenis
penyakit,iaitu mata
lelaki itu akan tertangkap dengan sepontan jika
ia terlihat warna yang menyerlah atau terang
jika ianya berada pada perempuan.

Maka oleh itu wahai perempuan, tolonglah jangan
memakai pakaian yang warnanya terang-terangan sangat.
Jika hendak pakai pun, pakailah untuk suami.
Itulah wahai muslimah, jika anda semua ingin tahu
apakah dia mata lelaki itu, dan perlu
diingatkan, jika semua aurat telah ditutup,
jangan anggap tugas kita telah selesai, perlulah
pula kita menjaga kehormatan diri masing2,
jangan keluar seorang2,keluarlah dengan
mahram, atau keluarlah sekurang2nya 3 wanita agar
tidak diganggu gangguan luar, mata lelaki pula
janganlah menjalar langsung kepada muslimah,
walau muslimah itu telah menutup aurat,
insyaAllah selamat dunia akhirat.

Seperti firman Allah,"Dan tundukkanlah pandanganmu
dan jagalah kemaluanmu".
Dunia sekarang telah banyak yang cacat celanya,
sehingga ketaraf seseorang yang memakai tudung
masih beliau tidak menutup aurat, dan pada kaum
lelaki, mata kamu itu wajib untuk tidak
mencuri2 melihat wanita muslimah, kerana ia
dilarangi oleh Allah SWT.

Ingat-ingatkanlah wahai muslimin muslimat.
Sekilau-kilau berlian paling menarik untuk dicuri..
Seindah-indah ciptaan adalah yang paling sukar untuk dijaga…



wasalam………………….

25 October 2010

Air Mata Malam Pertama

Sayu hati sehingga menitiskn air mata ini...mgkin rmai yg prnh mmbace kisah ne....ayu jga dah mmbacenye bbrapa kx....ttpi, stiap kx mmbcanya, hti ne sgguh sayu...
 
Hatiku bercampur baur antara kegembiraan, kesedihan dan kehibaan. Terlalu sukar untuk kugambarkan perasaan hatiku tatkala ini. Sanak saudara duduk mengelilingiku sambil memerhatikan gerak geri seorang lelaki yang berhadapan dengan bapaku serta tuan imam. Hari ini adalah hari yang cukup bermakna bagi diriku. Aku akan diijab kabulkan dengan seorang lelaki yang tidak pernah kukenali; pilihan keluarga. Aku pasrah. Semoga dengan pilihan keluarga ini beserta dengan rahmat Tuhan. Bakal suamiku itu kelihatan tenang mengadap bapaku, bakal bapa mentuanya. Mereka berkata sesuatu yang aku tidak dapat mendengar butir bicaranya. Kemudian beberapa orang mengangguk-angguk. Serentak dengan itu, para hadirin mengangkat tangan mengaminkan doa yang dibacakan lelaki itu.

"Ana dah jadi isteri! " Bisik sepupuku sewaktu aku menadah tangan. Tidak semena-mena beberapa titis air mata gugur keribaanku. Terselit juga hiba walaupun aku amat gembira. Hiba oleh kerana aku sudah menjadi tanggungjawab suamiku. Keluarga sudah melepaskan tanggungjawab mereka kepada suamiku tatkala ijab kabul. "Ya Allah! Bahagiakanlah hidup kami. Kurniakanlah kami zuriat-zuriat yang menjadi cahaya mata dan penyeri hidup kami nanti." Doaku perlahan. Aku bertafakur sejenak. Memikirkan statusku sekarang. Aku sudah bergelar isteri. Sudah tentu banyak tanggungjawab yang perlu aku tunaikan pada suamiku dan pada keluarga yang aku dan suamiku bina nanti. "Mampukah aku memikul tanggungjawab ini nanti?" Tiba-tiba sahaja soalan itu berdetik di hati. Kadang-kadang aku rasakan seolah-olah aku tidak dapat melaksanakan tanggungjawab seorang isteri terhadap suami.

"Assalamualaikum!" Sapa suatu suara yang mematikan tafakur tadi. Baru aku perasan, seorang lelaki berdiri betul-betul di hadapanku. Aku masih tidak mampu untuk mendongak, melihat wajahnya itu. Aku berteleku melihat kakinya. Sanak saudara yang tadi bersama-samaku, kini membukakan ruang buat lelaki itu mendekatiku. Aku tambah gementar bila dibiarkan sendirian begini. Tanpa kusangka, dia duduk menghadapku.

"Sayang"..Serunya perlahan. Suaranya itu seolah membelai dan memujuk jiwaku supaya melihat wajahnya. Aku memaksa diriku untuk mengangkat muka, melihat wajahnya. Perlahan-lahan dia mencapai tangan kiriku, lalu disarungkan sebentuk cincin emas bertatahkan zamrud ke jari manisku.

"Abang".. Seruku perlahan sambil bersalam dan mencium tangan lelaki itu yang telah sah menjadi suamiku. "Ana serahkan diri Ana dan seluruh kehidupan Ana ke pangkuan abang. Ana harap, abang akan terima Ana seadanya ini seikhlas hati abang.."Bisikku perlahan. " Kita akan sama-sama melayari hidup ini dan akan kita bina keluarga yang bahagia." Janjinya padaku. Itulah kali pertama aku menemui suamiku itu. 

Aku tidak pernah melihatnya selain daripada sekeping foto yang telah diberikan emak kepadaku.Kenduri perkahwinan kami diadakan secara sederhana sahaja. Namun meriah dengan kehadiran sanak saudara terdekat dan sahabat handai yang rapat. Senang sikit, tak payah berpenat lelah. Sibuk juga aku dan suamiku melayani para tetamu yang hadir ke majlis itu. Ramai juga teman-teman suamiku yang datang. Mereka mengucapkan tahniah buat kami berdua. Tak sangka, suamiku punyai ramai kawan. Katanya, kawan-kawan sejak dari universiti lagi. 

Pada pandanganku, suamiku itu memang seorang yang segak. Berbaju melayu putih sepasang serta bersampin. Aku juga memakai baju pengantin putih. Kami dah berpakat begitu. Aku selalu berdoa pada Tuhan agar Dia kurniakan padaku seorang suami yang dapat membimbing dan menunjukkan aku jalan ketuhanan. Mengasihi aku sebagai seorang isteri. Tidak kuminta harta mahupun pangkat, cukuplah sekadar aku bahagia bersamanya dan dia juga bahagia denganku. Aku juga sering berdoa agar dikurniakan zuriat yang dapat membahagiakan kami.

"Ana, ada perkara penting yang mak dan ayah nak bincangkan dengan Ana". Ayah memulakan mukadimah bicaranya di suatu petang sewaktu kami minum petang di halaman rumah. Mak hanya diam memerhatikan aku, membiarkan ayah yang memulakan bicaranya.

"Apa dia ayah, mak? Macam penting je" Soalku tanpa menaruh sebarang syak wasangka. "Sebenarnya, kami telah menerima satu pinangan bagi pihak Ana." 

"Apa!!!"Pengkhabaran begitu membuatkan aku benar-benar terkejut. Aku masih belum berfikir untuk mendirikan rumah tangga dalam usia begini. Aku mahu mengejar cita-citaku terlebih dahulu. Aku tidak mahu terikat dengan sebarang tanggungjawab sebagai seorang isteri. 

"Kenapa ayah dan mak tak bincang dengan Ana dulu?" Soalku agak kecewa dengan keputusan mak dan ayah yang membelakangi aku. Sepatutnya mereka berbincang denganku terlebih dulu sebelum membuat sebarang keputusan yang bakal mencorakkan masa depanku.

"Kami tahu apa jawapan yang akan Ana berikan sekiranya kami membincangkan perkara ini dengan Ana. Pastinya Ana akan mengatakan bahawa Ana masih belum bersedia. Sampai bilakah Ana akan berterusan begitu?" 

Ayah mengemukakan alasannya bertindak demikian. "Sebagai orang tua, kami amat berharap agar anak kesayangan kami akan mendapat seorang suami yang boleh melindungi dan membimbing Ana. "Ujar mak setelah sekian lama membisu. "Apakah Ana fikir mak dan ayah akan duduk senang melihat anak gadisnya berterusan hidup sendirian tanpa penjagaan dari seorang suami? Kami bukan nak lepaskan tanggungjawab kami sebagai orang tua, tapi itulah tanggungjawab orang tua mencarikan seorang suami yang baik untuk anak gadisnya." Terang ayah lagi.

"Ana.." Seru ayah setelah dia melihat aku mendiamkan diri, menahan rasa. "Percayalah, kami membuat keputusan ini adalah untuk kebaikan Ana sebab kami terlalu sayangkan Ana."; "Ini cincinnya, pakailah." Mak meletakkan satu kotak kecil berbaldu di hadapanku.

Perasaanku berbaur. Macam-macam yang datang. Berbelah bagi. Apa yang patut aku lakukan sekarang. Sekiranya aku menerima dan bersetuju dengan keputusan mak dan ayah itu, bermakna aku telah membiarkan cita-citaku semakin kabur dan berbalam di hadapan. Namun kiranya aku menolak, bermakna aku telah melukakan hati kedua-dua orang tuaku itu. Orang tua yang telah banyak berjasa dalam hidupku. 

Tanpa mereka berdua, aku takkan hadir dan mustahil untuk melihat dunia ini. "Ahhhhgggg..."Keluhku sendirian. Aku dalam dilemma. Yang manakah patut aku utamakan? Perasaan sendiri atau perasaan dan harapan mak dan ayah. Aku selalu tewas bila melibatkan perasaan mak dan ayah. Aku terlalu takut untuk melukakan hati mereka. Aku takut hidupku nanti tidak diberkati Tuhan.

Azan maghrib yang berkumandang mengejutkan aku dari lamunan. Dah masuk waktu maghrib rupanya. Masih banyak lagi barang-barang yang belum dikemaskan. Penat juga nak kemaskan semua ni. "Nanti kite kemas lepas ni. 

Mari solat maghrib dulu." Ujar ayah padaku. Adik-adik sibuk bentangkan tikar dan sejadah di ruang solat. Begitulah selalunya apabila kami berkumpul. Solat berjemaah adalah saru agenda yang tidak boleh dilupakan. Semua orang telah siap sedia menunggu sewaktu aku keluar dari berwudhuk di bilik air. Aku cepat-cepat mengenakan telekung dan memasuki saf bersama emak, kakak dan adik. 

Selesai je iqamah, ayah memberikan penghormatan kepada suamiku untuk menjadi imam. Dia kelihatan serba salah dengan permintaan ayah itu. Dia merenung ke arahku. Aku hanya mengangguk sebagai isyarat supaya dia memenuhi permintaan ayah itu. Maka dengan tenang, dia mengangkat takbir. Menjadi imam solat maghrib kami pada malam itu. Betapa hatiku tenang sekali menjadi makmumnya. Dengan bacaan yang jelas dan merdu itu membuatkan aku berasa kagum dengan suamiku itu. Mungkin tepat pilihan ayah dan mak buatku. Bacaannya lancar lagi fasih. Bagaikan seorang arab yang menjadi imam.

"Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau mengirakan kami salah jika kami terlupa atau tersilap. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau bebankan kami dengan bebanan yang berat sebagaimana yang telah Engkau bebankan kepada orang-orang yang terdahulu daripada kami. Wahai Tuhan kami! Jangan Engkau pikulkan kepada kami apa-apa yang tidak terdaya kami memikulnya. Dan maafkanlah kesalahan kami serta ampunkanlah dosa kami dan berilah rahmat kepada kami." "Wahai Tuhan kami! Kurniakanlah kami daripada isteri dan suami serta zuriat keturunan yang boleh menjadi cahaya mata buat kami dan jadikanlah kami daripada golongan orang-orang yang muttaqin." Dia membaca doa dengan khusyuk memohon kepada Tuhan setelah selesai solat. Kami bersalaman.

Aku mendekati suamiku sambil menghulurkan tangan. "Bang, maafkan Ana!" Bisikku perlahan sewaktu mencium tangannya. Dia kemudiannya mengucupi dahiku sebagai tanda kasih yang tulus. "Sayang tak ada apa-apa salah dengan abang." Ujarnya sambil tersenyum merenung wajahku. 

Selepas berwirid dan berzikir, dia bangun menuju ke halaman rumah. "Abang nak ke mana tu?" Soalku. "Nak kemaskan barang-barang kat bawah tu. Ada sikit lagi." Jawabnya. "Dah la tu. Rehat jelah. Esok kita boleh sambung lagi."Aku kesian melihatnya, keletihan. "Betul kata Ana tu Zul. Sambung esok sajalah." Sampuk ayah yang tiba-tiba mendengar perbualan kami. Emak pun mengangguk menyetujui sarananku itu. 

"Takpelah ayah, Ana. Sikit aje tu. Kejap je saya buatnya." Dia masih berkeras sambil berlalu turun ke halaman rumah untuk mengemas beberapa peralatan yang masih lagi berada di bawah khemah. Aku menukar pakaian, kemudian keluar membantu suamiku mengemas barang-barang di halaman rumah. Dia kelihatan asyik tanpa menyedari kehadiranku. Semua barang-barang telah dikemasnya. Aku mencapai kain pengelap dan mula mengelap meja.

"Bila Ana turun?" Soalnya apabila menyedari aku sedang mengelap meja. " Baru aje. Asyik sangat abang buat kerja sampai tak sedar Ana datang.

"Maafkan abang sayang." Dia menghampiriku. "Sayang tak marahkan?" Soalnya lagi sambil memeluk pinggangku erat. Aku merenungnya, kemudian mengeleng-ngeleng sebagai tanda aku tak ambil hati pun pasal tu. Dia tersenyum sambil menghadiahkan satu ciuman di pipiku. "Ish..abang ni! Nanti dilihat orang, malu kita." Rungkutku tersipu-sipu. 

Nanti malu juga kalau dilihat oleh ahli keluargaku. "Apa nak malu, kan sayang ni isteri abang." Jawabnya tersenyum. "Tau la, tapi tengok la keadaan dan tempat. Kalau kita berdua saja, lebih dari cium pun Ana bagi." "Betul ni?"Soal suamiku cepat-cepat. "Ish..Gatal la abang ni!" Dia cuba mengelak dari menjadi mangsa cubitan tanganku. Aku terasa bahagia disayangi begini. Inilah pertama kali dalam hidupku merasai betapa nikmatnya cinta dan kasih sayang seorang kekasih hati yang aku sayangi.

Aku tidak pernah terlibat dengan cinta walaupun semasa aku di universiti dulu. Dan pada tika ini, aku akan menikmatinya selepas perkahwinan. Cinta seorang suami terhadap seorang isteri. Walaupun begitu,masih ada sedikit rasa takut di hatiku. Aku takut aku tidak mampu untuk menunaikan tanggungjawab sebagai seorang isteri. Aku takut aku tidak mampu untuk menjadi seorang isteri yang solehah dan mulia dalam hidup suamiku. 

"Apa yang Ana menungkan ni?" Soalan itu mengejutkan aku dari lamunan. Aku berehat sekejap di atas kerusi batu dalam taman di halaman rumah setelah selesai mengemas barang-barang. "Abang ni, terkejut Ana tau!" Aku buat-buat merajuk. Saja nak menduga bagaimana suamiku memujuk. "Alaa..sayang ni..macam tu pun nak marah." Usiknya sambil mencubit pipiku. "Nampak gayanya terpaksalah abang tidur bawah katil dengan nyamuk-nyamuk malam ni sebab isteri abang dah merajuk. Kesian kat abang yea!" Aku mula tersenyum dengan kata-kata suamiku itu. Pandai juga suamiku buat lawak nak memujuk aku.

"Sayang..." Seru suamiku sambil merangkul tubuhku. "Sayang nak honeymoon kemana?" Tak terfikir pulak akau pasal honeymoon tu. Aku pun tak ada apa-apa plan atau cadangan pasal tu. "Ana ikut aje ke mana abang nak bawa." "Kalau abang bawa ke bulan atau bintang, sayang nak ikut ke?" Guraunya. "Banyak ke duit abang nak bayar tambang roket dan nak beli set bajunya nanti?" Soalanku itu membuatkan suamiku pecah ketawa. 

"Nanti sayang nak berapa orang anak?" Soalnya lagi setelah ketawanya reda. "Abang nak berapa?" Soalku kembali tanpa menjawab soalannya. "Abang nak sebanyak mungkin. Larat ke sayang nanti?" "Ish...abang ni. Abang ingat Ana ni kilang anak ke?" Sekali lagi suamiku ketawa. Nampaknya dia adalah orang yang mudah ketawa. "Takdelah macam tu. Tapi abang suka kalau kita ada anak yang ramai. Sama banyak lelaki dan perempuan." "Insya Allah, kalau ada rezeki nanti Ana sanggup.

" Penjelesanku itu membuatkan suamiku tersenyum gembira. "Ni yang buat abang tambah sayang ni." Satu lagi kucupan mesra singgah di pipiku. Aku terasa bahagia diperlakukan begitu. Aku punyai suami yang baik dan penyayang. Aku rasa dilindungi.
"Zul, Ana! Jom kita makan dulu!" Suara mak memanggil. "Mari bang! Ana pun dah lapar ni." Ajakku sambil memimpin tangannya. Kami bangun beriringan masuk ke dalam rumah untuk menghadapi hidangan makan malam. Rasa lapar la juga kerana sejak tadi lagi asyik layan tetamu dan buat kerja aje sampai lupa untuk makan. Seronok sangat dengan kahadiran kawan-kawan rapat serta gembira dianugerahi seorang suami yang baik.

Sudah beberapa hari aku asyik memikirkan pasal pertunanganku. Terlalu sukar untuk aku menerimanya. Tambah lagi dengan lelaki yang tidak pernah kukenali. Perkahwinan bukanlah sesuatu yang boleh diambil mudah. Kehidupan yang memerlukan persefahaman sepanjang hidup. Tanpa persefahaman dan tolak ansur, mustahil dua jiwa dan dua hati boleh bersatu dalam menjalani hidup sebagai suami isteri. Tidak sedikit cerita yang aku dengar tentang rumah tangga yang hanya mampu betahan buat seketika atau separuh jalan sahaja. Kemudian pecah berkecai umpama kapal dipukul badai. Berselerak dan bertaburan. Apatah lagi kalau dah dikurniakan anak. Anak-anak akan jadi mangsa keadaan. 

"Mampukah aku menerima suamiku nanti sepenuh hatiku? Mampukah aku menyediakan seluruh ruang isi hatiku ini buat suamiku itu? Bahagiakah aku bila bersamanya nanti?" Bertalu-talu persoalan demi persoalan menerjah benak fikiranku. Aku rasa amat tertekan dengan keadaan ini. Bukan aku tak fakir pasal rumah tangga, tapi aku masih belum bersedia untuk melaluinya.

"Ya Allah, bantulah aku dalam membuat keputusan. Tunjukkanlah aku jalan penyelesaian. Janganlah Engkau biarkan aku sendirian dalam menentukan masa depan hidupku." "Ya Allah, aku benar-benar tersepit antara kehendak orang tuaku dan persaan hatiku sendiri. Kiranya ia baik buatku, maka berilah aku redha dalam menerimanya wahai Tuhan.

Indahnya kuperhatikan suasana kamarku. Aku sendiri yang menghiasinya. Kamar malam pertamaku bersama seorang lelaki yang bergelar suami. Kamar yang akan menjadi saksi bisu bila mana aku menyerahkan khidmatku pada seorang suami. Kegusaran dan sedikit gentar mula bertandang dalam sanubari. Aku rasa takut sendirian untuk melalui keindahan malam pertama ini. Bagaimanakah akan melayani suamiku nanti? Ketukan pada pintu bilik membuatkan hatiku bertambah gusar. Dari tadi lagi aku hanya duduk di birai katil.

"Masuklah, pintu tak berkunci." Aku bersuara perlahan. Aku pasti, itu adalah suamiku. Dia masuk, kemudian menutup pintu bilik kami dengan perlahan. Dia kemudiannya menghampiri dan duduk di sisiku. " Kenapa asyik termenung aje ni? Sayang tak gembirakah bersama abang?" Aku tak menyangka soalan itu yang diajukan oleh suamiku tatkala ketakutan di malam pertama begitu membanjiri jiwaku. Aku hanya mampu mengeleng-ngeleng. Aku sendiri tak tahu apa jawapan yang terlebih baik untuk soalan suamiku itu. "Habis tu apa yang sayang menungkan ni?" Ana takut bang!" Itulah aku rasa jawapan yang tepat bagi menjawab soalannya. Dia memelukku erat sambil membelai rambutku. " Apa yang nak ditakutkan? Abangkan ada. Abang akan bantu dan tolong sayang. Kita sama-sama bina keluarga kita." Pujuk suamiku.

" Ana takut Ana tak mampu untuk menjalankan tugas sebagai isteri abang. Ana banyak kelemahan bang. Ana takut nanti Ana akan mengecewakan abang. Ana takut.." Aku tidak sempat untuk meneruskan kata-kataku kerana suamiku telah meletakkan telunjuknya di bibirku tanda tidak membenarkan aku menghabiskan bicaraku. Terkebil-kebil mataku memandangnya.

" Sayang, abang terima sayang sebagai isteri abang seadanya. Abang terima segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada sayang. Usahlah sayang risaukan pasal itu. Ok sayang! " Bisiknya. Aku memeluknya syahdu di atas penerimaannya terhadapku. " Sayang, abang nak mandi kejap. Badan ni dah rasa macam melekit." Aku bangun membuka almari pakaian dan mencapai sehelai tuala serta kain pelikat. Kuhulurkan kepadanya dengan penuh kasih sayang. Dia tersenyum kepadaku dan mencium pipiku sebelum berlalu ke bilik air. Kemudian aku terdengar siraman air terjun ke lantai. Malam berarak perlahan. Langit kelihatan gelap pekat tanpa bulan dan bintang. Mungkin sekejap lagi hujan akan mencurah, membasahi bumi yang sudah beberapa hari merindui titis air untuk membajai ketandusannya.

"Ayah, mak! Ana dah buat keputusan." Beritahuku sewaktu kami sedang berehat di beranda rumah pada suatu hari. Ayah yang sedang membaca akhbar dan emak yang sedang menyulam tiba-tiba memandangku serentak, kemudian berpaling sesama sendiri. " Keputusan tentang apa?" Soal ayah inginkan kepastian. Mungkin mereka tertanya-tanya keputusan apakah yang telah kubuat. " Pasal peminangan tu." Ujarku. 

Ayah dan emak kembali merenungku. Mereka memberikan perhatian kepada apa yang bakal aku beritahu. Keputusan yang telah kubuat setelah berfikir baik dan buruknya. Keputusan yang bakal menentukan masa depan arah perjalanan hidupku. " Kiranya ini takdir Tuhan, maka Ana redha dengan jodoh yang ayah dan emak pilih." Terasa pilu sekali hatiku sewaktu meluahkannya. Ada sedikit titis jernih jatuh ke riba. Aku mengesatnya dengan hujung jari. Emak bangun dan memelukku. Aku tidak tahu apakah ertinya pelukan emak itu. Pelukan gembira oleh kerana aku menerima pilihan mereka atau pelukan untuk menenangkan jiwaku yang sedang berkecamuk dan sedih ini? 

Hanya emak yang tahu hakikatnya.
" Syukurlah, moga Ana bahagia nanti." Ucap ayah padaku. Aku terpaksa berkorban demi untuk melihat senyuman di bibir ayah dan emak walaupun hatiku sendiri terpaksa menangis. Tapi adalah terlebih baik bagiku memakan hatiku sendiri daripada memakan hati orang tua ku. "Nanti mak kenalkan dia pada Ana." Ujar emak sambil tersenyum kerana keputusanku memihak kepada mereka. " Tak payahlah mak. 

Kenalkan pada Ana di hari perkahwinan tu aje." Aku rasa lebih baik demikian kerana selepas ijab Kabul aku sudah tidak punyai pilihan lain selain daripada menerima walaupun dengan terpaksa lelaki pilihan ayah dan emak ku itu sebagai suamiku. Aku tidak mahu pertemuan sebelum ijab kabul nanti akan menyebabkan aku berbelah bagi dengan keputusan yang telah aku buat. " Kenapa pula macam tu? Kan lebih baik kalau Ana berkenalan dahulu dengannya." Ayah mempersoalkan keputusanku itu. " Ana telah memenuhi kehendak ayah dan mak dengan menerima pilihan ayah dan mak. Tak bolehkah ayah dan mak memenuhi permintaan dan kehendak Ana pula?" Aku berlalu meninggalkan mereka dalam keadaan tercengang dengan permintaan ku itu.

Aku siapkan kamar tidur seadanya. Aku letakkan pakaian persalinan buat suamiku di atas katil. Aku menunggunya keluar dari bilik air. Aku sendiri telah bersiap-siap menukar pakaian malam menanti suamiku itu dengan penuh debaran. Kedengaran pintu bilik air dibuka. Dia keluar sambil tersenyum ke arahku. 

" Sayang, boleh tak ambilkan abang segelas air. Dahagalah." Pintanya sambil mengelap-ngelap badannya dengan tuala di tangan. " Baik bang. Bang, ni baju abang." Ujarku sambil bangun untuk ke dapur. Sewaktu aku keluar, lampu di ruang tamu semuanya telah dipadamkan. Kulihat jam dah dekat pukul 1 pagi. " Patutlah." Bisik hatiku. Aku meneruskan langkahku ke dapur dalam smar-samar cahaya bilik yang masih lagi terpasang. Kupenuhkan labu sayung dengan air masak dan ku capai sebiji gelas. Aku membawa kedua-duanya menuju ke bilik. Suasana malam agak sunyi. Tiada bunyi cengkerik atau cacing tanah. Cuma kat luar sana kadang-kadang langit kelihatan cerah diterangi cahaya kilat memancar.

Malam yang pekat bakal mencurahkan hujan. Sewaktu aku melangkah masuk ke bilik, kelihatan suamiku sedang khusyuk berdoa atas sejadah. Mulutnya terkumat kamit tanpa kutahu butir bicaranya. Kutuangkan air kedalam gelas dan kuletakkan atas meja menanti suamiku selesai berdoa. Kemudian dia bangun menghampiriku. Aku menghulurkan gelas air kepadanya.

"Bang...."Seruku. "Ada apa sayang?" Soalnya apabila melihat aku tersipu-sipu kearahnya. "Malam ni abang nak.....nak....."Agak segan untuk kuteruskan pertanyaan itu. Suamiku masih lagi menanti persoalan yang kutanya... " Nak apa sayang?" Soalnya lagi sambil tersenyum. "Ah..abang ni..."Aku malu sendirian apabila melihat suamiku seolah-olah dapat membaca fikiranku. "Ya, abang nak sayang layan abang malam ni. Boleh tak?" Bisiknya ketelingaku. Aku hanya mampu mengangguk-angguk tanda bersedia untuk melayani segala kehendak dan kemahuannya. Aku cuba untuk mempersiapkan diri sebagai seorang isteri yang mampu menyediakan dan memenuhi segala keperluan dan kemahuan suamiku itu.

"Assalamualaikum, wahai pintu rahmat!" Bisik suamiku. " Waalaikumussalam wahai tuan pemilik yang mulia." Jawabku. Malam yang gelap kehitaman itu kulaluinya bertemankan seorang lelaki yang telah kuserahkan kepadanya seluruh jiwa dan ragaku ke dalam tangannya. Dia berhak segala-galanya keatasku. Sebagai seorang isteri, aku mesti sentiasa patuh kepada segala arahan dan suruhannya selagi mana ia tidak bercanggah dengan ketetapan Tuhan dan Rasul. Pertama kali kulalui dalam hidupku, malam bersama seorang lelaki yang telah dihalalkan aku keatasnya. Aku umpama ladang dan suamiku itu adalah peladang. Ia berhak mendatangiku mengikut sekehendak hatinya.

Aku telah membaca beberapa buah buku tentang alam perkahwinan, rumahtangga dan tanggungjawab seorang isteri apabila aku menerima pilihan emak dan abah terhadapku. Aku cuba untuk mempraktikkannya selagi aku termampu untuk melakukannya. Aku cuba menjadi yang terbaik bagi suamiku. Aku ingin suamiku bahagia bersamaku. Aku ingin menjadi permaisuri yang bertahta di hati dan jiwanya sepanjang usia hayatnya.

Rasulullah bersabda: "Sebaik-baik isteri itu ialah yang dapat menenangkan kamu apabila kamu melihatnya dan taat kepada kamu apabila kamu perintah dan memelihara dirinya dan menjaga hartamu apabila kamu tiada.

" Rasulullah bersabda: "Setiap wanita itu adalah pengurus sebuah rumahtangga suaminya dan akan ditanyakan hal urusan itu.

" Rasulullah bersabda: "Isteri yang mulia ini merupakan sesuatu yang terbaik di antara segala yang bermanfaat di dunia.

" Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya wanita yang baik itu adalah wanita yang beranak, besar cintanya, pemegang rahsia, berjiwa kesatria terhadap keluarganya, patuh terhadap suaminya, pesolek bagi suaminya, menjaga diri terhadap lelaki lain, taat kepada ucapan suaminya dan perintahnya, dan apabila bersendirian dengan suaminya, dia pasrahkan dirinya kepada kehendak suaminya itu."

Sesungguhnya perkahwinan ataupun rumahtangga itu bukanlah sesuatu yang boleh dipandang remeh atau yang boleh dipermain-mainkan. Ia adalah suatu ikatan yang menghalalkan yang haram sebelumnya. Ia memerlukan persefahaman, tolak ansur, saling mempercayai, tolong-menolong, kasih mengasihi seikhlas hati dan sebagainya. Tanpa itu semua, mana bisa dua jiwa yang berlainan sifat dan sikap mampu mengharungi sebuah kehidupan yang penuh dengan dugaan ini bersama-sama. Ia amat mustahil sekali.

Maka seharusnya kita perlu mempersiapkan diri sebelum memasuki gerbang perkahwinan dengan pelbagai ilmu. Ilmu kekeluargaan, ilmu keibu bapaan, psikologi kanak-kanak dan sebagainya. Jangan cuba untuk menghampirinya selagi mana kita belum benar-benar bersedia untuk menghadapinya. Jangan kita fikirkan tentang nafsu semata-mata. Fikirkan sama tentang tanggungjawab yang bakal kita pikul nanti. 

Tanggungjawab sebagai seorang suami ataupun isteri, tanggungjawab sebagai seorang bapa ataupun ibu. Mampukah kita semua memenuhi atau menunaikan tanggungjawab dan tuntutan itu. Kita pastinya akan dipersoalkan tentang pertanggungjawaban itu. Sama ada di dunia mahaupun di hadapan Tuhan nanti. Kerana tanggungjawab itu adalah amanah yang perlu ditunaikan oleh setiap orang. 

Bunyi batuk yang berlarutan menyebabkan aku tersedar dari tidur istimewaku malam ini. Sewaktu aku membuka mata, aku lihat suamiku sedang bersimpuh diatas sejadah.
Dia mengurut-urut dadanya menahan batuk. Aku bingkas bangun, turun dari katil dan menghampirinya. "Abang tak apa-apa?" Soalku risau dengan keadaannya. Aku mula risau, takut-takut suamiku itu mempunyai penyakit-penyakit tertentu yang tidak aku ketahui. "Abang ok je. Mungkin sejuk sikit kot."Jelasnya. Mungkin juga. Hawa dinihari itu sejuk sebab hujan masih lagi bergerimis selepas mencurah lebat semalam. 

"Pergilah mandi, ayah dan semua orang sedang menunggu kita untuk berjemaah di luar tu." Arah suamiku sambil tersenyum merenungku dengan pijama itu. Aku malu sendirian bila mata suamiku menyorot memerhati seluruh tubuhku itu. "Nakallah abang ni." Aku bangun mencapai tuala dan terus ke bilik air untuk mandi. Aku masih lagi terdengar batuk-batuk dari luar. Ayah mahu suamiku mengimami solat subuh itu, tapi suamiku menolak dengan alasan dia batuk-batuk dan tak berapa sihat. Namun ayah masih berkeras, maka terpaksalah dia menjadi imam. Kesian aku melihatnya. Bacaannya tidak selancar semalam. Banyak tersangkut dan terpaksa berhenti atau mengulanginya kerana asyik batuk-batuk sahaja. Aku mula risau lagi dengan keadaan begitu. Selepas beriwirid pendek, dia membacakan doa dengan perlahan tapi masih boleh didengari oleh semua ahli keluargaku.

Aku lihat muka suamiku agak kepucatan. "Kenapa ni bang?" Soalku sewaktu bersalaman dengannya. " Entahlah, abang rasa kurang sihat sikit pagi ni.." "Zul sakit ke?" Tanya ayah. "Takdelah, cuma kurang sihat sikit. Mungkin sebab cuaca kot."Jawabnya. "Elok makan ubat, nanti takut melarat pulak." Sampuk mak. "Nanti Ana ambilkan ubat

." Aku bangun ke dapur untuk mengambil ubat dalam rak ubat. Ubat-ubatan asas sentiasa tersimpan dalm rak ubat di rumahku. Ini bagi memudahkan bagi tujuan rawatan segera kalau ada apa-apa berlaku. Aku ambil sebotol ubat batuk dan segelas air. Suamiku sudah masuk ke bilik. Batuknya agak berkurangan sedikit dari tadi. Mungkin betul juga ia ada kaitan dengan keadaan cuaca yang sejuk. Dia menghirup sirap batuk yang kusuapkan. "Terima kasih." Ucapnya perlahan. Aku angguk. "Abang berehatlah." Ujarku sambil membaringkan badannya ke atas tilam.


"Abang minta maaf kerana menyusahkan sayang." " Kenapa pula abang cakap macam tu. Sikit pun Ana tak rasa susah." "Abang tahu sayang susah hati tengok abang begini. Sepatutnya hari pertama begini, abang kena membahagiakan sayang. Tapi abang minta maaf sebab keadaan abang tak mengizinkan." "Dahla tu bang. Ana isteri abang. Ana sentiasa bersedia berkhidmat untuk abang tanpa sedikit pun rasa susah."Pujukku walaupun sebenarnya hatiku memang runsing dengan keadaannya. "Walau apapun yang berlaku, abang tetap sayang dan cintakan sayang. Sayanglah satu-satunya buah hati abang." Sambung suamiku tanpa menghiraukan nasihatku supaya dia berehat saja. Entah kenapa tiba-tiba sahaja hatiku dilanda kesedihan. Entah darimana ia berputik. 

"Abang minta maaf atas segalanya. Sayang maafkan abang yea" "Abang nak tidur dulu. Mengantuk rasanya." Ujarnya perlahan. "Abang tidurlah." Aku menarik selimut untuk menyelimutinya. Aku menciumi dahinya. Sekejap sahaja dia terlena selepas mulutnya terkumat kamit membacakan sesuatu. Aku memerhatikan suamiku buat seketika. Tidurnya kelihatan tenang dengan susunan nafas yang teratur. Aku suka melihat wajahnya yang memberikan ketenangan buatku. Wajahnya yang agak bersih dihiasi dengan kumis dan jambang yang nipis dan terjaga.
 
Aku berdoa dan berharap agar kurniaan Tuhan ini akan berkekalan bersamaku hingga ke akhir hayat. Namun segala-galanya telah ditentukan Tuhan. Hidup, mati, rezeki, baik dan buruk seseorang hamba itu telah ditentukan Tuhan semenjak ia berada dalam kandungan ibunya lagi. Maka aku sebagai seorang hamba yang lemah terpaksa menerima segala kehendaknya dengan redha dan tenang. Siapa tahu, rupa-rupanya itulah hari pertama dan terakhir aku bersama suamiku yang baru aku kenali itu. 

Aku hanya mengenalinya seketika sahaja, namun dia telah meninggalkan aku buat selama-lamanya. Aku belum sempat untuk menjalankan tugasan sebagai isteri dengan sepenuhnya. Apalagi yang dapat aku lakukan. Patutlah dia asyik memohon maaf dariku. Sewaktu aku ingin mengejutkannya untuk bersarapan, berkali-kali aku cuba memanggil namanya. Namun dia masih tak menjawab. Aku menggoncang tubuhnya, tetapi tetap tak ada respon. Aku sentuh tangannya, sejuk. Aku memeriksa nadi dan denyutan jantungnya. Senyap! Air mataku terus je mengalir tanpa dapat ditahan lagi. Menangisi kepergian seorang suami. Aku tersedu-sedu sewaktu semua ahli keluarga masuk kebilik untuk melihat apa yang berlaku setelah terlalu lama aku cuba mengejutkan suamiku itu. Tapi rupanya hanyalah jasad yang terbujur kaku.

" Sudahlah Ana, bersyukurlah kerana masih ada lagi pusaka tinggalannya buat Ana." Pujuk emak. Aku hanya mampu tersenyum dengan pujukan emak itu sambil memandang wajah seorang bayi lelaki yang sedang nyenyak tidur disebelahku. Itulah takdir Tuhan,malam pertama yang telah membuahkan hasil. Walaupun hanya pertama, tapi itulah panglima yang menang dalam pertarungan bagi menduduki rahimku ini. 

Hari ini, zuriat suamiku itu telah menjenguk dunia ini. Satu-satunya pusaka yang tidak ada nilai buatku selain sebuah rumah yang telah diwasiatkan oleh suamiku buatku. Ya Allah, tempatkanlah rohnya bersama golongan yang soleh. Ya Allah, rahmatilah anakku ini. Jadikanlah dia umpama bapanya yang sentiasa taat kepadamu. Jadikanlah ia berjasa kepada perjuangan dalam menegakkan agamamu. Jadikanlah ia sebagai permata yang membahagiakan aku dan seluruh keluargaku.

23 September 2010

Sayang sayang Sayang???

"Sayang, sayang... kenapa kita tak pernah keluar berdua? Tengok diorang tu, pergi mana-mana pun berdua je, sweet kan?"

"Kenapa kita tak macam tu? Kawan honey kan, nak pergi mana-mana mesti boyfriend dia temankan."

"Bukan setakat 'paun', nak pergi 'potostet' pun boyfriend dia temankan. Sweet sangat! Romantic couple! Kan? Kan sayang kan? Mesti diorang tak pernah gaduh, sweetnyeee..."

"Kenapa sayang tak nak keluar dengan honey, teman honey jalan-jalan, shopping... tak macam boyfriend lain buat kat girlfriend diorang? Sayang malu keluar dengan honey ek? Honey tau la honey tak cantik... Hmm..."



*** IKLAN ABIS, TAPI SEBAB TAK SANGGUP TENGOK CERITA TERSEBUT, TUKAR CHANNEL ***






"Ustaz, boleh tak sebenarnya lelaki dan perempuan keluar berdua? Tak kisahlah diorang couple ataupun tidak. Boleh tak?"


"Keluar sebab ada urusan kerja ke, saja-saja ke, tapi tak buat apa-apa. Means tak sentuh-sentuh, just borak-borak je..."

"Hmm... Drama sebelah tadi pun cerita pasal lelaki perempuan keluar berdua jugak".



*** PENONTON TERCENGANG! ***






"Oklah, oklah, ustaz jawab insyaAllah... Tapi kamu nak ustaz jawab ikut ilmu ke nafsu ke exclusive?"


"Exclusive hape plak tu ustaz?"

"Ok satu-satu ye? Mula-mula, jawapan ikut nafsu dulu. Kalau ikut nafsu, Eh, mestilah boleh, bukan buat apa-apa pun kan??!!!?"

"Astaghfirullah terkejut saya, ustaz ni...."

"Hehe... mestila boleh. Kata kamu tadi diorang tak buat apa-apa pun kan? Takpelah, takkan tak boleh keluar berdua kot, nak pergi makan-makan ke, apa ke, ye dak?"

"Lagi pulak kalau ada kerja, ada urusan, apa salahnya berdua, bukannya cakap benda bukan-bukan pun... kan?"

"Err, ustaz tanya saya ke tu? saya nak jawab apa ni? Blurr kejap, heh...."

"Tapi kalau jawab ikut ilmu, Nabi Muhammad SAW ajar kita untuk 'berjaga-jaga' dalam perhubungan antara lelaki perempuan. Didalam pergaulan sehari-hari antara lelaki dan perempuan. Disebut dalam bab muamalat, ikhtilat. Dalam satu hadith sahih,

Daripada Ibnu Abbas r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah seorang lelaki berdua-duaan (khalwat) dengan wanita kecuali bersama mahramnya". - Hadis Riwayat Bukhari & Muslim

Di dalam riwayat yang lain,

Daripada Jabir bin Samurah berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah salah seorang daripada kalian berdua-duaan dengan seorang wanita, kerana syaitan akan menjadi ketiganya". - Hadis Riwayat Ahmad &Tirmidzi dengan sanad yang sahih

Di dalam surah An-Nur surah yang ke 24 ayat yang ke 30 Allah bagitau,

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.

Ayat lepas tu Allah nasihat kaum Hawa pula untuk menjaga pandangan....

"Sedangkan Aisyah, yang digelar Ummul Mukminin, ibu orang-orang mukmin, pun menggunakan tabir untuk menyampaikan ilmu pada para sahabat yang lelaki setelah kewafatan nabi."

"Para sahabat yang mempunyai iman setinggi gunung, pun mengambil langkah 'berjaga-jaga' dalam perhubungan antara lelaki perempuan. Bukan menyuruh bertabir, tetapi 'berjaga-jaga' dengan mengelakkan dari 'berdua'. Kerana lelaki di zaman sekarang tidaklah lebih hebat dari para sahabat, perempuan pula tidaklah setanding iman Aisyah".

"Berdua pasti akan ada yang ketiga. Syaitan tidak menghasut playboy sahaja, ulama' pun tidak terkecuali. Cuba bagi seorang perempuan duduk dengan seorang ulama'. Mampu beliau tahan 'fitrah'nya selama setahun? Sebulan? Seminggu? Sehari pun masih ragu-ragu jika tiada ikatan yang halal".



"Kalau jawab ikut 'exclusive', Allah nasihatkan jangan mendekati zina bukan bermaksud jangan berbuat zina. Tetapi Allah bermaksud, jangan 'pergi ke arahnya'. Sebab? Yang pertama, kamu akan cenderung melakukan zina. Sebab yang kedua, adalah kerana itu akan menimbulkan fitnah".


Cakap-cakap orang... Apa kata orang bila nampak lelaki perempuan berdua? Apa terdetik di hati orang yang melihat mereka berdua? Adakah orang akan tahu mereka berbincang tentang apa? Adakah orang akan sangka mereka cuma berbual sahaja?

"Yang baik akan bersangka baik dengan mereka, 'mungkin hal persatuan agaknya'... Tetapi yang tidak baik, apa yang difikirkan mereka?"

"Inilah yang Allah nak elakkan, 'peluang-peluang' untuk orang mengata.' Peluang-peluang' untuk orang berdusta. 'Peluang-peluang' inilah FITNAH".

"Fitnah ini tidak memberi kesan pada lelaki. But women? Kita bercakap soal 'exclusive'. Seorang perempuan, adalah seperti mutiara yang tersimpan kemas. Mahu menikmati ketenangannya, menyentuh emosinya, mendengar kemanjaannya, merasakan kelembutannya, HARUS NIKAH DULU!"



"Kenapa ustaz kata lelaki tidak terkesan dengan fitnah ini? Kerana lelaki bebas untuk 'touch n go'".


Sudah jemu? Terpulang untuk tinggalkan, cari sahaja alasan, asalkan dapat yang baru. Yang lama konon-konon masih sayang, tapi di hadapan teman-temannya???

"Perempuan tu ke? Ooh... aku pernah keluar berdua dengan dia dulu. Teman dia pergi shopping... Perempuan tu? Alah, senang je nak ajak dia keluar, aku pernah keluar dengan dia dulu... Perempuan tu ke? Haha... Aku dah pernah rasa dah... Perempuan tu? Alah, dia minat aku dulu... Perempuan tu??? Nampak je baik tu, bekas aku je dulu tu..."

"Even dia tipu dan reka cerita sekalipun kawan-kawanya bukannya tahu!"

"Di mana kaum hawa ketika itu untuk membela diri dan martabat??

Di mana maruah, hak exclusive seorang suami terhadap isteri jika sudah begitu nilai diri?

Lelaki... Di depan sahabat tunjuk hebat, konon dialah lelaki terdahsyat, pernah mencairkan wanita-wanita memikat.

Perempuan... Biar dikerat empat, lelaki tersayang itulah yang paling jujur dan hebat. Perempuan... Biar dikerat empat, 'kawan baik' itulah tempat dia curhat. Perempuan... Biar dikerat empat, sering terlupa mana mimpi mana hakikat.

Lelaki selagi belum jadi suami tetap ada peluang untuk 'berpisah'.

Kalau ditakdirkan berpisah, badan mahupun ruh, apa tinggal untuk bakal suami? 'Sayang'? Dah bagi kat boyfriend. 'Keluar berdua'? Dah bagi kat kawan study group. 'Suara bangun tidur'?

Dah bagi kat abang angkat. 'Body'? Malasnya nak tutup-tutup, rimasnya pakai baju longgar-longgar. 'Muka makeup'? Tiap-tiap kali dinner kot???"



*** TERASA PEDAS, TUKAR CHANNEL ***




"Sayang sayang..... sayang sayang sayang?". "Of course sayang.....sayang saaaaaaaaaaaaaaaaaaaayang sayang!" (Erk....???? Apakah? Gastric juice is over secreted, help!!! )




*** TUKAR CHANNEL BALIK ***




"Amatlah rugi orang yang sudah sampai kebenaran padanya namun dia menolak dengan perasaan bongkak dan benci".


Allah menyebut didalam al-Quran,

35 : 24. Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.

06 : 104. Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu).

"Ustaz, lelaki memang semua macam tu ke?"

"Mungkin tak semua, tapi perempuan kena sentiasa berjaga-jaga. Elakkanlah 'fitnah' kepada diri sendiri. Dan lelaki pula, harus hormat martabat dan darjat wanita, jaga dan bimbing mereka ke jalan yang benar..."

*** BLACKOUT, TUTUP TV ***

Cinta kita.........cinta Perjuangan

“Enti menangis..?”

“Untuk apa ana menangis, bukankah akh selalu pesan, jangan menangis kerana manusia.”


“Habis, mata enti berair?”


“Mata ana masuk habuk. Kebelakangan ni, selalu sangat mata ana ni berair.” Aku tersenyum.


Alasan ni dah lapuk sebenarnya, seingat aku semasa aku berumur 7 tahun, aku sudah tidak percaya alasan ‘masuk habuk’ yang menyebabkan mata seseorang berair. Filem-filem Melayu yang mengajar aku.


“Ana tahu enti menangis..”


“Tidak…!! Tak faham-faham ke?!” Dia tiba-tiba membentak.


“Oklah.. oklah.. mata enti masuk habuk. Ginilah, kapal terbang akan bertolak besok pukul 7.00 petang. Kalau enti nak hantar pun hantarlah. Kalau tak nak pun, kapal terbang tu tetap akan bertolak. Ana pergi cuma 2 tahun, tak lama..”


“Insya-Allah ana akan hantar. Tapi kalau ana tak hantar pun, ana harap akh tidak kecil hati. Ana takut berlalu fitnah. Maklumlah, kita bukannya diikat dengan ikatan yang sah lagi. Sekadar pertunangan…”


“Pertunangan bukannya ikatan yang sahkah..?”


“Bukan itu maksud ana, namun setidak-tidaknya ia kan boleh putus bila-bila masa sahaja. Sekali dihempas ombak, sekali pantai berubah..”


“Pantai berubah kerana ombaklah tunangnya. Cuba jika bulan menjadi gerhana, atau matahari hilang sinarnya, berubahkah pantai?” Aku berfalsafah. Dan memang dia akan selalu kalah kalau beradu bahasa denganku. Temannya yang sering dibawa apabila berjumpa denganku tergelak kecil. Satu sokongan moral untukku.


“Akh punya pasallah. Ana nak pergi. Jumpa lagi besok. Assalamualaikum..” Aku tidak menjawab salamnya. Bukankah menjawab salam dari seorang wanita yang bukan mahram hukumnya makruh?………………………………………….


“Ana tak setuju dengan pandangan ustaz!!” Seorang muslimah bangun membentak. Aii.. ada juga yang berani rupanya.


“Bukankah demokrasi telah lama memperdayakan kita? Adakah Rasulullah SAW berjuang untuk mendapatkan kuasa baru dilaksanakan syariah seperti yang terdapat dalam hukum demokrasi..?” Dia berhenti seketika. Mengambil nafas rasanya. Ini baru kali pertama aku melihat dia bangun berucap di khalayak.


“Kalaulah demokrasi boleh gagal di Turki, boleh gagal di Algeria, kenapa tidak di negara kita? Ustaz bercakap terlalu yakin dengan demokrasi. Di mana pula komitmen ustaz terhadap pembinaan tanzim seperti yang diajar oleh Hassan Al-Banna dan Syed Qutb?”


Suasana semakin bising. Apabila seorang pembentang kertas kerja seperti aku ditentang di khalayak ramai, ia satu kejanggalan yang ketara. Sekalipun Dewan Badar ini sudah cukup sejuk, namun ia tetap ‘hangat’ pada malam ini.


“Ana rasa ustazah sudah silap faham terhadap pandangan ana. Ana cuma ingin menyatakan, kadang-kadang demokrasi boleh digunakan untuk mendapatkan kuasa selagi mana diizinkan. Ciri demokrasi yang paling ketara ialah pemilihan pemimpin melelaui majoriti. Bukankah Abu Bakar sendiri dipilih melalui majoriti dan bai’ah? Bezanya, bai’ah dahulu dengan tangan, manakala sekarang dengan menggunakan kertas undi. Yang penting, kerelaaan!”


“Baiklah. Cuma ana ingin bertanya, adakah ustaz berpandangan bahawa demokrasi ialah satu-satunya cara untuk memastikan kedaulatan Islam di bumi kita?”


“Hmmm.. sehingga sekarang, ya. Kita masih boleh bergerak bebas, gunakanlah ruang yang ada sekadar yang termampu.”


“Maaflah ustaz. Ana tidak mampu untuk bersetuju dengan pandangan ustaz.” Dia menamatkan ‘soalannya’ lalu mengambil tempatnya kembali. Aku terkasima sendirian.……………………………………….


“Kau kenal dia Abdullah?” Aku memulakan pertanyaan yang sekian lama tertanam di dalam benakku. Abdullah berhenti menyuap nasi, memaku matanya ke wajahku. Sekarang aku nekad, sekurang-kurangnya aku harus mengenali orang yang begitu berani menongkah pendapatku di tengah khalayak.


Suasana di restoran sup tulang yang biasanya sibuk dengan pelanggan malam ini nampaknya begitu lengang seolah-olah memberikan ruang yang cukup untukku berbicara dari hati ke hati dengan Abdullah.


“Ini kali pertama kau bertanyakan soalan kepadaku tentang perempuan. Hai, sudah kau jualkah prinsip kau selama ini. Kau kan tak mahu menjadi hamba cinta?!”


Memang hebat Abdullah kalau diberikan peluang untuk menyindir. Mungkin dia terlupa bahawa dia hanya menumpang keretaku untuk datang ke sini atau dia sudah bersedia untuk balik dengan hanya berjalan kaki.


“Jawab soalan aku dulu..”


“Rupa-rupanya, manusia berhati batu macam kau pun tahu erti cinta…” Abdullah belum puas lagi menyindir nampaknya.


“Jawab soalan aku dulu..” Aku memohon untuk kali kedua.


“Baiklah Muhammad, aku tahu sejak malam tu kau sebenarnya ingin mengenali dia. Orang seperti kau ni Muhammad hanya akan ‘kalah’ dengan kaum yang spesis dengan kau saja. Maksud aku, yang boleh diajak berbincang tentang perkara-perkara yang kau minati yang kebanyakannya adalah membosankan!”


“Jawab soalan aku dulu..” Aku ulangi permintaanku untuk kali seterusnya.


“Ok.. dia, namanya kau sudah tahu. Seorang yang pendiam dan suka menulis. Menurut kakakku yang sebilik dengannya, dia ni sering bangun awal. Sebelum pukul 5 sudah di atas tikar sejadah. Bukan macam… "


“Aku? Hai.. kau ni silap tuju. Kau yang bangun lewat Abdullah.. ok, teruskan.”


“Kalau kat asrama, dia ni suka baca Al-Quran, tak suka bersembang kosong, tak suka jalan-jalan dan banyak lagi yang dia tak suka..” Abdullah dengan selamba menceritakan segala-galanya.


‘Lagi.. negatifnya?”


“Negatifnya.. banyak..” Abdullah tersenyum sejenak. Lalu menyambung,


“Negatifnya.. pelajaran dia agak sederhana. Tapi bagi aku, itu tidak menjadi masalah. Cuma.. aku tak pasti adakah kau akan setuju dengannya jika aku menyatakan sesuatu.”


“Apa dia..? Negatifkah?”


“Tidaklah negatif sangat, namun bertentang dengan aliranmu. Dia terlibat dengan satu pergerakan… rahsia! Maksud aku, pergerakan yang memperjuangkan sesuatu yang tidak selari dengan undang-undang demokrasi.”“Gerakan militankah?”


“Mungkin, namun aku tak pasti. Sebab aktiviti mereka terlalu rahsia. Kau mungkin maklum, manhaj mereka berasaskan semangat ‘hazar’ yang dididik oleh gerakan Ikhwanul-Muslimin. Ketaatan mereka kepada amir mereka melebihi ketaatan mereka kepada sesiapa saja.. termasuklah ibubapa mereka sendiri!!”


“Sampai begitu sekali.. matlamat mereka?”“Sama macam kau, memperjuangkan Islam! Tapi mereka lebih praktikal. Mereka dilatih dengan marhalah-marhalah tarbiyyah mereka sendiri. Dan mereka menyintai syahid. Tidak macam kita rasanya, kita bercakap tentang Islam, tapi kita berehat lebih banyak dari bekerja! Dan kau jangan terkejut kalau mereka sebenarnya mempunyai hunungan dengan rangkaian peringkat nasional malah antarabangsa termasuk gerakan Hamas dan Briged Aqsa di Palestin!


“Kalaulah.. aku memilihnya menjadi teman hidupku, adakah ketaatannya kepada jemaahnya melebihi ketaatan kepadaku sebagai suami?” Aku mengutarakan soalan bonus untuk Abdullah.


“Aku pasti, dia akan memenuhi tanggungjawab sebagai isteri dan ibu. Namun kalau kau harap dia akan memecahkan rahsia gerakannya dan menderhakai bai’ahnya kepada jemaah, lebih baik kau bercinta dengan bulan sahaja!”………………………………………….


Aku tidak tahu kenapa aku harus memilih dia. Dia bukanlah yang tercantik di bumi ini. Aku pasti. Tidak juga yang terkaya. Jauh sekali dari yang terbijak di dalam pelajaran. Namun aku yakin, dia yang terbaik untukku. Ciri-ciri muslimah sejati terserlah ketara pada dirinya yang membuatkan diriku terasa tenang sekali apabila memandangnya. Langkahnya yang teratur dan pandangannya yang dijaga adalah benih-benih keimanan yang terserlah dari hati yang dididik dengan ketaqwaan. Tapi persoalan yang dibangkitkan oleh Abdullah membuatkan aku termenung sejenak. Bolehkah aku hidup dengan orang yang berlainan aliran perjuangannya denganku. Bahagiakah aku?


“Ustaz sudah fikirkan masak-masak..?”


“Bukan setakat masak, ana rasa sudahpun rentung. Cuma bagi pihak ustazah, adakah ustazah setuju menerima ana. Maksud ana, dengan segala kekurangan yang ana miliki.


“Ustaz orang famous. Siapalah ana. Ana rasa tak layak sebenarnya.” Dia merendahkan diri namun dalam intonasi suara yang masih terkawal.


“Ini bukan soal famous atau tidak. Sekurang-kurangnya, sebelum ana ke bumi ambiya’ ana sudah mempunyai ‘ikatan’ di sini. Dan ana memilih ustazah yang ana yakini boleh menjadi ibu kepada anak-anak ana nanti.” Aku berterus-terang. Dari mana datangnya kekuatan untuk berbuat demikianpun aku tidak tahu.“Ustaz tidak main-mainkan ana?”


“Hanya orang yang tidak ada perasaan sahaja yang sanggup main-mainkan perasaan orang lain.”

“Jemputlah ke rumah, jumpa dengan ibu ayah ana..” Dia terus mematikan talian telefon. Pantas dan cepat. Kak Yang yang aku tugaskan untuk menjadi ‘perisik’ku memang sudah memberikan amaran kepadaku, orang ini jarang sekali bergayut di telefon apatah lagi dengan lelaki bukan mahramnya.………………………………………….

Sudah lima bulan aku di bumi ambiya’, suasana pembelajaran di sini jauh lebih mencabar dari yang kuperolehi di bumi Malaysia. Benarlah kata orang, bumi ambiya’ ini mengajar kita berdikari. Hilang seketika soal cinta dari benak fikiranku. Namun kekadang bayangannya tetap mendatangi ruang mata terutama ketika aku merebahkan badan. Namun seperti yang sering kutegaskan padanya..


“Mungkin cinta ana pada enti sudah cukup besar, namun cinta ana pada ilmu dan juga kepada Allah jauh lebih besar..” dan dia akan terus menyambung,


“Mungkin ketaatan ana pada akh cukup dituntut, namun ketaatan ana pada perjuangan dan jemaah lebih-lebih lagi dituntut..”


Dan biasanya aku akan ‘cemburu’ dengan kata-katanya. Namun akan terus kubisikkan kepada diriku, bukankah dia taat kepada perjuangan dan kenapa aku harus cemburu. Dia juga berjuang dan perjuangannya juga kerana Allah. Cuma, apa yang menjadi rahsia ialah langkah-langkah pergerakannya yang sehingga kini masih menjadi misteri bagiku.


Hari itu, selepas menadah kitab Al-Umm dengan seorang senior di Rumah Melayu, aku bergegas ke Ciber Café yang menjadi rumah ‘kedua’ku. Ku buka laman web Utusan Online, satu tajuk berita yang cukup menarik perhatianku,


“SEORANG WANITA MALAYSIA TERLIBAT DALAM SERANGAN BERANI MATI DI TEL AVIV’


Ku tinggalkan seketika pelayar web tersebut apabila satu lagi pelayar web menunjukkan mesej :“you have 1 unread message’ namun jangkaanku meleset apabila inboxku hanya dihiasi dengan e-mail dari Abdullah dan bukan dari si dia yang kunanti-nantikan.


“Muhammad, kau apa khabar? Muhammad, aku ada satu khabar penting. Aku harap kau tidak terkejut. ‘Dia’ yang kau amanahkan padaku untuk ‘tengok-tengok’ telah diperintahkan bersama-sama kawan-kawannya untuk ke Palestin membantu Gerakan Briged Aqsa melakukan serangan istisyhadiah ke atas Israel. Ini kerana rakyat Malaysia yang memasuki Israel tidak akan disyaki apa-apa kerana dianggap sebagai pelancong. Muhammad, kau lihat tajuk berita hari ini, wanita yang terkorban dalam serangan istisyadiah itu ialah ‘dia’, tunang kau yang kau perintahkan untukku menjaganya. Maafkan aku Muhammad..!!”


Serta merta ku teringat panggilan telefon darinya beberapa hari yang lepas,


“Akh, kalaupun cinta kita tidak bertaut di dunia, biarlah ia bertaut di syurga. Kerana cinta kita ialah cinta perjuangan..!!”


Seterusnya, aku rebah dari kerusi dan kudapati alam di sekelilingku gelap gelita!


-TAMAT-

Pengarang cerpen ini sedang bermukim di http://www.ahmadfadhli.com/